Kali ini, sobat jamu hijau posting cerpen hasil karya salah
satu anak jamu hijau. Yuk, kita baca :)
Jam alarm biru berdering tanpa henti memecah kesunyian pagi. Kamar
yang masih sangat gelap dengan tirai jendela yang masih menyelimuti membuat
penghuninya enggan sadarkan diri. Tari masih betah bermalas-malasan di tempat
tidurnya.
“Kringggg
kringgg”, sebuah handphone yang didominasi warna biru berdering tanpa henti. Tari
meraihnya dan mendekatkannya ke telinga mungilnya.
“Tar, Lo
cepetan bangun, udah jam setengah 7 lewat nih. Gue on the way ke rumah Lo yah!”, jelas Erin yang sudah geram sama
kebiasaan Tari yang suka banget bangun telat.
Tari hanya
mengangguk mendengar apa yang dikatakan Erin tadi.
“Oke, waktunya mandi cepat, dandan cepat ama sarapan. sarapan? Udah
ah gak usah sarapan Gue, ntar omelannya
si Erin panjangnya sampe 1 km lagi, hahaha!”, pikirnya cekikikan.
Suara klakson motor Erin mendera tanpa henti, maklumlah
mereka bersekolah di SMAN 2 Makassar yang mewajibkan siswanya harus ada di
sekolah pada pukul 07.00 WITA. Tari segera berlarian keluar tanpa lupa
mengambil bekal yang sudah disiapkan Ibunya dan berpamitan dengan Ibunya
tentunya. Ibunya sudah sangat hapal dengan tingkah laku anak tunggalnya itu.
Gerbang
sekolah masih terbuka setengah bagian. Hal itu membuat keduanya merasa lega.
Mereka udah nggak mau lagi kena omelan Ibu Salma, guru yang menurut anak-anak satu
sekolahan omelannya cetar membahana. Apalagi sekarang Tari dan Erin sudah kelas
XII. Pasti omelannya dua kali lipat. Jam pertama pelajaran bahasa inggris berlalu
tanpa hambatan. Jam kedua pelajaran fisika dengan embel-embel tugas yang
bejibun.
Bel pulang
yang berbunyi tak disadari Tari yang sedari tadi memandangi tugas-tugas yang
diberikan guru-gurunya. “Buset dah, guru-guru pada ngasih tugas kayak pembagian
sembako aja. Soalnya banyak banget macemnya”, keluhnya di depan tugas-tugasnya
yang belum ia bereskan. “Udahlah Tar, yuk pulang!”, ajak Erin yang sedari tadi memandangi temannya
dari pintu kelas.
*****
Merasa moodnya lagi nggak bagus buat ngerjain tugas. Tari memilih untuk
mengutak atik Tabnya di halaman
rumah. Memainkan game favoritnya.
“Tari, mama
denger-denger kita punya tetangga baru”, ucap Ibu Tari sambil membawa cemilan
kesukaan Tari.
“Tetangga
baru? Gak penting ah Ma, kalau emang tetangganya itu Artis atau orang terkenal
itu baru wah!”, tegas Tari pada ibunya yang sedari tadi mengamati tingkah
anaknya.
“Oh gitu yah, padahal tetangga baru kita itu keluarganya
Pak Santoso. Keluarga sahabat kamu, Anggi sama Tio”, tanpa sadar jawaban Ibunya
membuat Tari ternganga, hingga rasanya napasnya tertahan sampai-sampai Ia keselek makanan yang ada di dalam
mulutnya.
Tio dan Anggi dua orang sahabat yang sedari dulu menemaninya, entah
itu di sekolah ataupun di rumah. Ke mana-mana mereka selalu bersama. Hingga
akhirnya suatu hari keluarga Anggi dan Tio memutuskan untuk pergi ke luar kota dalam
jangka waktu yang lama. Tari sangat ingin Anggi dan Tio tetap tinggal dan bisa
melewati masa remaja mereka bersama-sama.
“Kamu nggak
niat ke sana? Sekedar menyapa aja sayang!”, pinta Ibunya.
“Nggak ah Ma,
masih belum siap Akunya. Kenapa nggak Mama aja yang ke sana?”, tolak Tari
dengan halus.
“Mama lagi
banyak kerjaan sayang, mungkin besok-besok deh Mama bisa ke sana”, tegas Ibunya
sambil melangkah ke dalam rumah meninggalkan Tari yang masih sibuk dengan gamenya.
Makin lama Tari tak konsen dengan apa yang Ia lakukan.
kini Ia disergap rasa penasaran tingkat tinggi.
Karena
tidak tahan akan hal itu, Tari memutuskan untuk melangkahkan kaki menuju ke
rumah Anggi. Dan benar kata Ibunya, rumah yang mulanya gersang, kotor dan
kosong karena tak berpenghuni kini terlihat sangat apik dengan tatanan halaman
yang masih sama seperti dulu, layaknya ketika Ia sering berkunjung ke rumah itu
apakah hanya untuk sekedar bermain dengan Anggi dan Tio ataupun nginap karena
Ia selalu merasa kesepian dirumahnya.
Kini
sangat ringan rasanya langkah kaki yang ia tujukan untuk rumah itu. Masih
tersimpan sejuta kenangan indah masa lalu di ingatan kecilnya. Tanpa disadari
kini Ia telah berada di tempat yang selama ini Ia inginkan seseorang akan
menyapanya dengan senyuman dan mengatakan kata-kata indah tentang persahabatan.
Mata kecilnya menari-nari mengamati halaman rumah, hingga akhirnya tertangkap
sesosok cowok sedang membaca buku dengan sangat serius sampai-sampai kehadiran
Tari tak dirasakan cowok itu.
“Hei!”,
sapanya dengan santai pada cowok yang diyakininya adalah Tio, sahabatnya.
“Elo siapa yah? Sorry Gue orang baru di
sini. Mungkin Lo salah orang!”, jawabnya
santai tanpa menatap wajah cewek yang sedang tersenyum sumringah itu.
“Tiooo!! Jahat banget sih. Gue Tari, Sahabat Elo yang
paling cantik ke mana-mana”, ujar Tari dengan kesal, wajahnya yang awalnya
tersenyum sumringah kini berubah menjadi bom atom yang siap untuk meledak. Alhasil
kepala Tio sakitnya gak ketulungan karena dijitak sama Tari.
Awal pertemuan tak terduga
yang terjadi antara mereka berdua membuat koneksi yang sebelumnya putus tanpa
sebab kini tersambung kembali. Tari merasakan satu kejanggalan. Ya, sedari tadi
Anggi tak menunjukkan batang hidungnya sama sekali. Ia coba bertanya pada Tio
yang notabenenya adalah kakak dari Anggi tentang Anggi yang tak
pernah tampak sama sekali. Namun, jawaban yang
dilontarkan Tio tak seperti apa yang diharapkan Tari.
Melangkah layaknya orang yang
linglung, Tari kembali ke rumah dengan wajah semrawut. Di kamar Ia hempaskan
seluruh emosinya pada tumpukan bantal. rasa sangat sedih tentang Anggi yang
sudah tidak di sini lagi membuatnya berpikir keras, apa alasan Anggi berada di negeri
orang sedangkan keluarganya menetap di sini, di tempat yang sama dengannya. Apa
Anggi tak kangen padanya? Apa Anggi sekarang lupa padanya?
*******
Di sekolah lagi gempar-gemparnya isu soal murid baru cowok dari luar
kota. Tari menganggap itu hal yang biasa dan memilih stay di kelas bersama tabnya
dibanding betebaran kayak lalat di koridor.
“Tar, tuh murid baru ternyata kelasnya di
sebelah”, napas Erin yang ngos-ngosan bikin kalimatnya gak bisa dicerna Tari
dengan baik, belum selesai dengan kalimatnya tadi Erin mendekat ke Tari.
“Namanya
Satrio Anggara. Cakepnya gak ketulungan”,
seru Erin dengan semangat, tangannya pun dengan semangat mengacak-acak makanan
Tari.
“What the?
Kenapa harus dia gitu?!”, Tari gak habis pikir kenapa si Tio harus sekolah di
sekolah yang sama dengannya. Jika Anggi ikut andil soal pindahan ini mungkin
Tari bisa welcome dengan baik.
Seketika euforia soal Tio
mereda dikarenakan guru-guru sudah ada dalam kelas dan bersiap untuk mengajar.
Jam pertama berlalu begitu saja dan jam selanjutnya tidak ada aktifitas yang menyibukkan, guru-guru pada absen ngajar
soalnya salah satu guru di sekolahan Tari lagi ngadain acara yang bikin guru
mau nggak mau harus ikut serta. Alhasil anak-anak cewek pada anteng di kelas
Tio. Tari mencoba tetap di kelas dengan kesibukannya sendiri makan gorengan plus dengerin musik favoritnya.
*******
Dikarenakan waktu yang sering
mempertemukan Tio dan Tari, tali persahabatan yang sempat terputus beberapa
tahun yang lalu kini bisa tersambung kembali. Rasa kangen Tari pada Anggi pun
kini tak dapat ia bendung dan memutuskan untuk ke rumah Tio. Namun yang
diberikan Tio hanya kode pos kota New York dan alamat Anggi di New York,
sedangkan yang diharapkan Tari adalah nomor handphone atau email milik Anggi
agar komunikasinya dengan Anggi lebih lancar. Alasan Tio hanya memberikannya
kode pos karena Anggi lebih suka surat-menyurat dibanding lewat media
elektronik. Alasan yang nggak berkualitas emang, tapi Tari ingat kalau dari
dulu Anggi sangat suka menulis termasuk menulis surat untuknya walaupun jarak
antara rumahnya dan rumah Anggi hanya beberapa meter. Tio menyodorkan selembar
kertas dan sebuah bolpoin padanya.
Dear Anggi,
Anggi, apa kabar lo sekarang?
Ini gue, Tari. Gue kangeeeen banget sama Lo, cepetan pulang yah!
Gue tunggu balasan dari Lo secepatnya.
Yours
Mentari
Surat yang sederhana itu diharap Tari bisa mewakili rasa kangennya
pada Anggi.
“Elo kan
cowok yang baik, pengertian dan bijaksana. Gak pantes dong kalo Lo cuma duduk
diem di sini dan ngebiarin Gue sendiri yang anterin ini ke kantor pos?”, bujuk
Tari pada Tio yang sedang asyik sendiri dengan handphonenya.
“Modus banget Lo, ya udah sini suratnya biar Gue yang
anterin ke sana” Tio sudah tahu tabiat Tari yang suka muji tapi ujung-ujungnya
pasti ada maunya. Tanpa dengar komando berikutnya, Tio segera meluncur ke
Kantor pos dengan Tari yang tetap menunggu di rumah Tio.
*******
Beberapa hari setelah surat
itu dikirim, sampai saat ini Tari belum mendapat balasan surat dari Anggi. Sore
ini Tari free dari segala jenis
kegiatan. Tempat yang tenang yang dibutuhkannya saat ini. Pantai losari menjadi
pilihannya. Tempat itu memang cukup ramai apalagi hari ini adalah weekend. Tapi Tari tak menyerah begitu
saja, Ia mencoba menepi mencari sisi yang tak ada seorang pun di sana. Pantai
losari memang jadi salah satu tempat favoritnya, jika kepalanya sedang dipenuhi
berbagai masalah, pantai losari pasti tujuan utamanya. Setelah menerawang ke
sana kemari akhirnya didapatkannya yang Ia mau.
Duduk termenung ditemani deru ombak. Jiwa Tari telah terbang entah
ke mana. Seseorang yang tiba-tiba datang dari mana telah merusak suasana
hatinya. Tio mengagetkannya dari belakang dan refleks Tari menjerit dan
menyerangnya tanpa henti. Tio menunjukkan sesuatu yang membuat Tari terkejut
dan seketika membuatnya ternganga.
“Surat dari Anggi nih? Thank you yah! Akhirnya dibales juga surat Gue”, seru Tari dengan
membuka surat dan segera membacanya.
Dear Tari,
Gue baik-baik aja Tari, lo sendiri gimana kabarnya?
Gue juga kangeen banget sama Lo!
Gue gak yakin soal bisa cepet pulang, soalnya sekarang
tugas lagi banyak-banyaknya.
Biarpun gue bukan anak kelas 3 kayak lo sama kakak Gue,
yah tugas tetep aja tugas.
Tar, New York keren banget loh, Gue harap Lo sama Tio juga
bisa ke sini supaya kita bisa
ngehabisin waktu sama-sama J
Yours
Anggita
********
Tari baru saja selesai menulis suratnya yang kesekian untuk Anggi.
Surat itu dibawanya ke rumah Tio dan Tio lah yang harus jadi kurir pengantar
lagi. Merasa bosan menunggu Tio, Tari memutuskan untuk ke kamar Tio dengan
tujuan mencari camilan, dibukanya setiap laci yang ada. Tapi, ketika membuka
salah satu laci tampak tumpukan barang yang tak asing bagi matanya.
Surat-suratnya yang selama ini Ia kirimkan untuk Anggi tertata rapi di dalam
laci. Tubuhnya lemas, bibirnya kaku.
“Hah!, ini maksudnya apa coba? kenapa surat-surat Gue
bisa ada di sini? bukannya kemarin-kemarin udah dikirimin ama Tio?”, Tari jatuh
tertunduk, pipinya basah karena air matanya tak dapat Ia bendung.
Tio sudah berdiri tepat di
belakang Tari dan sudah menerka apa yang baru saja terjadi. Tio mencoba meraih
Tari namun Tari menolak dan memilih untuk segera meninggalkan tempat itu dengan
surat-surat di tangannya. Tio ingin tetap menahannya namun Ia tak sanggup
melihat keadaan Tari dan membiarkannya pergi tanpa mencoba memberikan
penjelasan yang pasti pada Tari.
Tangis Tari tak terbendung lagi. Dibenamkannya wajahnya ke bantal
dengan seluruh emosi yang menyelimutinya.
“Apa Gue ada
salah sama Anggi? Sampai-sampai Tio seakan-akan nyembunyiin Anggi dari Gue”,
Tanya Tari pada dirinya sendiri yang masih cegukan karena habis nangis tadi.
Kini terjadi
perang batin antara tari dan dirinya sendiri tentang siapa yang sebenarnya
salah di kondisi seperti ini.
Sementara di lain tempat Tio merasa rapuh, masih shock akan situasi yang tidak
disangkanya akan terjadi secepat ini. “Mestinya Gue gak pernah ngelakuin ini
sama Tari, Gue udah ngehancurin hatinya dengan berbohong sejauh ini”, sesal Tio
pada dirinya sendiri.
*******
Beberapa hari setelah kejadian itu,
Tio memberanikan diri untuk menemui Tari. Diketuknya pintu perlahan beberapa
kali dan Ibu Tari telah menyambut kehadiran Tio dan menyuruh Tio menemui Tari
di kamarnya. Pintunya nggak kekunci, dibukanya perlahan dan tampak seorang
cewek yang duduk terpaku menatap langit dari balik jendela. Tio mencoba
mendekat dan duduk di samping Tari.
“Tari, ini
Gue Tio, Gue pengen minta maaf sama lo. Gue nggak maksud boongin Lo, Gue cuman
gak mau Lo sedih karena suatu hal”, jelas Tio pada Tari yang seolah-olah tak
merasakan kehadirannya.
Setelah
kalimat yang diucapkan Tio, yang tercipta hanya suasana yang diam dan hening.
“Gue capek
Tio, Gue capek! Lo sahabat yang Gue percaya banget kenapa gak bisa jujur sama
Gue tentang semua ini. Trus surat yang kemaren-kemaren itu dari siapa? Heh?”,
jawaban yang tak disangka Tio keluar dari bibir Tari yang perlahan membuyarkan
pikirannya.
“Itu semua
Gue yang tulis, ada sebab dibalik semua ini Tar. Please dengerin penjelasan gue”, balas Tio mencoba meyakinkan Tari.
“Sebenernya Anggi itu udah nggak ada di dunia ini, dia
udah meninggal beberapa tahun yang lalu karena lemah jantung yang akut. Itu
sebabnya dari dulu waktu kita masih sama-sama di sini, Anggi jarang banget
ikutan main yang nguras banyak tenaga. Gue mau jujur sama Lo dari awal, tapi
ngeliat Lo semangat banget nanyain soal kabar Anggi, Gue jadi gak sanggup
ngasih tahu Lo semua ini. Maafin Gue!”, sambung Tio panjang lebar.
Penjelasan
yang sederhana itu telah membuat Tari hampir tak sadarkan diri, Tio berusaha
menenangkan Tari yang telah kehilangan tenaga. Kini tak ada tenaga yang tersisa
untuk membalas penjelasan Tio. Tenaganya serasa diserap oleh kenyataan pahit
itu. Tio mencoba membaringkan Tari dan menyelimutinya dengan lembut. “Mungkin
bukan hak Gue buat bikin senyum Lo kembali lagi, tapi cobalah buat lebih tegar
Tar buat Anggi. Dia pasti sedih ngeliat kondisi Lo yang kayak gini”, ucap Tio
lembut seraya menghilang dari balik pintu.
******
Sebulan berlalu, waktu yang cukup lama
dibutuhkan Tari untuk menerima keadaan. Senyumnya kini dapat terlihat lagi. Ia
rasa ini hari yang baik untuk menemui Tio dan membicarakan banyak hal.
“Assalamu’alaikum
Tante, Tio ada di rumah?”, Tanya Tari pada Ibu Tio yang sedang menyirami
tanaman di sekitar rumah.
“Wa’alaikumsalam
Tari, iya Tio ada kok. Kayaknya ada di halaman belakang. Kamu samperin aja yah!”,
jawab Ibu Tio ramah.
Tari
melangkah dan melangkah dan telah didapatinya sahabat yang telah Ia abaikan
selama beberapa minggu.
“Hai Gue
Tari, bisa duduk di sebelah Lo gak?” tanyanya pada Tio yang masih fokus dengan
buku yang ada di tangannya.
“Tari? Ini
bener Lo? Iya iya duduk aja kali!” tukas Tio yang terkejut dengan kehadiran
Tari yang disangkanya tidak akan pernah mau berbicara dengannya lagi.
Selain untuk berdamai dengan Tio, Tujuan lain Tari
menemui Tio adalah untuk mengetahui di mana makam Tari. Dengan senang hati Tio
mengantar Tari ke tempat Anggi dimakamkan.
Malino, kota yang sejuknya dapat
membuat Tari tertidur lelap di dalam mobil.
“Tar, kita
udah sampai nih!”, suara yang membuyarkan tidur Tari itu dibarengi dengan
cengiran kecil.
Tari tak menyangka
makam Anggi cukup jauh. Mereka berdua turun dari mobil dan menuju makam Anggi.
Makam Anggi masih tersisa taburan bunga sisa-sisa ziarah Tio dan keluarganya
minggu lalu. Di depan makam Anggi, Tari memanjatkan do’a untuk sahabat
tersayangnya itu dengan air mata yang tak dapat dibendungnya. Rangkulan Tio
dapat sedikit menenangkannya.
“Anggi, gue janji sama Lo bakalan jagain Tari.
Lo gak usah khawatir!”, Tio ingat akan pesan terakhir Anggi untuknya buat
jagain Tari.
Tari yang mendengar itu merasa Tio bersikap konyol.
Kini Tari
ingin merelakan kepergian Anggi, kini yang ada di hadapannya adalah Tio. Sahabat
yang tetap sabar akan sifat childishnya.
Ia memutuskan untuk hidup seperti biasa lagi. Menatap masa depan yang lebih
cerah walaupun salah satu sahabatnya tak dapat menggenggam tangannya lagi.
THE END
Created by :
Indah
Viqrianti
XII IPA 1 /
14817